Senin, 31 Maret 2014



HIKAYAT CIKAMPAK DARI KERAJAAN TORGAMBA

-         Dahulu kala di daerah Labuha Batu Selatan, sebelum berdirinya kerajaan Pinang Awan Torgamba, telah ada kerajaan besar yang disebut kerajaan Torgamba.
-         Menurut usia berdirinya kerajaan Pinag Awan Torgamba telah tergolong tua, dan rajanya bernama Cagar Alam, Ia memerintah dengan penuh kebijaksanaan.
-         Seluruh rakyat di kerajaan Pinang Awan patuh kepada raja dan kerajaan semakin harum namanya.
-         Dalam kehidupan sering terjadi berbagai perubahan, suka dan duka silih berganti.
-         Terjadilah suatu kejadian yang menimpa salah seorang rakyat. Disuatu senja yang suram, kiranya paduka raja yang mulia Raja Cagar Alam menderita penyakit, mendengar berita yang demikian, seluruh rakyat merasa gusar.
-         Bahkan dikabarkan telah berpulang kerahmatullah. Tersiar pula berita bahwa Panglima Badau akan menobatkan diri menjadi raja, padahal perangainya selama ini
-         Dalam suasana kedukaan, Panglima Badau menobatkan diri sebagai raja. Seluruh rakat di kerajaan Pinang Awan merasa kecewa sebab perbuatannya sangatlah merugikan rakyat, rakyat diperlakukan sewenang- wenang dan harta mereka dirampas dengan paksa.
-         Siapa yang melawan, dipenjarakan dan yang melakukan keonaran dan khianat diberi hadiah.
-         Keadaan ini sungguh memprihatinkan, rakyat banyak mengalami kesulitan dan kemiskinan yang sangat memilukan.
-         Tatkala angin berhembus menyantuh dedaunan, terdengar deburan ombak air laut yang menderu syahdu.
-         Saat itu keluarga Syaperi sedang duduk-duduk di beranda pondoknya.
-         Disebelah pondok asap mengepul, saat yang demikian terliha dua ekor elang sedang terbang melingkar diudara.
-         “Ada anak burung jatuh!” seru si Cikampak, putra pasangan Syaperi dan Utami. 
-         “cit....cicit..cicit”, suara anak burung. Kemudian ia memperhatikan ke atas pohon.
-         “Oh, ternyata ada sarangnya diatas”, bisik Cikampak.
Cikampak lalu memanjat ke pohon, dan ternyata masih ada seekor lagi anaknya yang masih lemah. Anak burung yang jatuh dikembalikan ke sarangnya.
-          Tatkala mengetahui Cikampak mengembalikan si anak burung ke sarangnya, Uami memuji perangai putranya.
-         “Oh...anak ku, mendekatlah kepada ayahmu, ia akan berkata tentang anak burung itu” demikian suara ibu Utami.
-         Cikampak lalu mendekat kepada ayahnya, dan sang ayah pun bertutur lembut di hadapannya.
-         “Cikanpak, anakku! Ayah merasa bangga dan berbahagia atas perangaimu. Tingkah laku yang demikian engkau pertahankan hingga usia dewasamu, pasti kelak engkau akan menjadi manusia yang berguna.
-         “Kanda ! pekerjaan kita di ladang telah selesai. Ada sesuatu yang penting untuk ku sampaikan” demikian suarah lirih yang keluar dari mulut Utami.
-         “Apa dinda, yang akan engkau sampaikan padaku?”
-         “Ada sesuatu yang dinda anggap rahasia dan membicarakannya perlu hati-hati.
-         “Apa yang engkau takutkan, dinda! Bila kita berada di pihak yang benar” ucap sang suami.
-         “Begini, kanda! Bukankah penguasa kita raja Badau sering pasang mata-mata.
-         Menurut orang-orang di kampung kita, siapa yang memiliki kekayaan, akan dirampas dan dibawa ke istana.
-         Bila hal ini benar, bagai mana kalau harta kita dirampas dan kita di penjarakan”. Ucap Utami.
-         “Pikir-pikir dahulu, seandainya ini terjadi, barulah kita mencari jalan keluarnya” kata sang suami.
-         “Karena itu, alangkah baiknya kita meninggalkan kampung ini dan pulang kekampung asal kanda. Bukankah selama ini kanda belum pernah menceritakan asal usul kampung kanda!” ucap Utami.
-         “Oh...itu yang  dinda pinta dengarkanlah baik-baik, aku dilahirkan di kampung Barus. Negerinya bernama Mayang, negeri kanda menghasilkan banyak kapur yang dikenal sebagai kapur barus” ucap Syaperi
-         Berkat penjelasan ayah nya Cikampak merasa tertegun mendengarnya.
-         Tatkala hari beranjak senja orang-orang kampung sudah berada di rumah, tiba-tiba di kejutkan suara hardikan yang datangnya dari belakang pondok.
-         “ Ei....serahkan emas atau uangmu. Ayo cepat serahkan sekarang juga” hardik sekelompok hulu balang kerajaan Pinang Awan dengan suara bengis dan menakutkan.
-         Syaperi dan Utami terkejut, apalagi Cikampak yang masih remaja, tentu saja darahnya mendidih.
-         “Ayo cepat serahkan emas dan uang yang banyak itu!” gertaknya sambil menghentakkan kakinya ke tanah.
-         “Aku tidak memiliki uang dan emas yang kalian tanyakan dan aku tidak mencari misuh. Namun, tidaklah menolak bila kalian ingin bertanding” ucap Syaperi. “Engkau melawan!”, bentak salah seorang pengawal.
-         Karena ucapan Syaperi yang tegas dan akan melawan, gerombolan semakin maju dan akan menendang Utami sekali lagi. Dengan gerakan kilat Syaperi mengayunkan parangnya dengan membabi buta. Ia mengamuk karena hak-hak dirampas dengan paksa.
-         Keadaan semakin genting, kawanan kelompok penjahat yang dikomado raja Badau menyarbu kepondok Syaperi. Syaperi serta istri dan anaknya si Cikampak tidak berdaya.
-         Tangan Syaperi dan Utami istrinya diikat dan dibawa secara paksa ke istana kerajaan Pinang Awan dan dipenjarakan.
-         Beberapa saat kemudian, suasana di pondok Syaperi terlihat sunyi, yang tinggal hanya Cikampak seorang diri.
-         Perbuatan Panglima Badau merupakan pukulan berat bagi dirinya, ia berdoa dan memohon pertolongan Tuhan.
-         Atas permohonannya, tiba-tiba datanglah seorang gadis yang lembut budi pekertinya menghampirinya.
-         Kemudian luka tubuhnya diobati. Ternyata gadis tersebut adalah kekasih Cikampak sendiri, yang bernama Nuri.
-         Cikampak memceritakan apa yang telah terjadi dengan air mata yang menetes.
-         Ia berjanji akan berguru dan tidak akan pulang sebelum bertemu guru sakti.
-         Sebelum berangkat, ia terlebih dahulu singgah ke rumah orang tua Nuri.
-         Orang tua nuri mendoakan semoga dirinya selamat dalam perjalanan.
-         Cikampak mulai berjalan meninggalkan kampung halamannya, langkah cikampak semakin samar-samar.
-         Keadaan semakin gelap, malam pun tiba, Cikampak mencari tempat untuk bermalam. Akhirnya dijumpailah pohon besar yang justru daunnya rindang.
-         Keesokan harinya, ia meneruskan perjalanan.
-         Cikampak kehilangan arah, dan terlihat olehnya sebuah gunung yang tidak begitu tinggi.
-         Setelah melewati lembah sunyi, dan sungai kecil di tengah hutan, akhirnya Cikampak sampailah di atas gunung.                                                                                            “oh....indahnya alam ini!” demikian ucap Cikampak.
-         “Ei...., ada gua. Mungkin disitu diam seorang guru yang ku cari-cari itu” ucap si Cikampak.
-         Setelah sampai dipintu gua, ia merasan terkejut, sebab di sudut gua ada orang tua yang sedang duduk rapi dengan menghadap kedupa-dupa.                                              Cikampak lalu datang menghadapnya.                                                                       “Guru.......                                                                                                                   Aku datang kemari ingin sekali belajar pada guru”. Kata Cikampak dengan hormatnya.                                                                                                                   “Ei......, siapa engkau anak muda! Mengapa dirimu sampai disini?” tanya orang tua tersebut.
-         “Guru! Namaku Cikampak, diriku datang kemari ingin berguru kepada kakek”, demikian permintaan Cikampak.
-         “Oh......, itu niatmu anak muda!” jawab kakek tua.                                               “Kujelaskan anak muda, bahwa yang kau cari itu tidak lain adalah diriku, jadi maksudmu ingin berguru padaku, anak muda? Baiklah bila sudah bulat tekadmu untuk menuntut ilmu di gua ini”, demikian sahut kakek tua.
-         Cikampak sangat tertarik dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sang guru.
-         Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, mka ia menghadap sang guru.
-         “Guru, rasanya sudah cukup aku mendapatkan ilmu, oleh karena itu, aku akan kembali ke negeriku dan ijinkanlah aku pulang”, kata Cikampak memohon pamit pada gurunya,
-         “Wahai muridku! Bahwa di atas segalanya masih ada yang perlu dituntut, ialah kebajikan ,                                                                                                              Camkan nasihatku! Tunjukkan budi pekerti yang luhur dan keutamaan”, demikian kata guru.
-         Setelah Cikampak kembali berguru, ternyata rakyat Pinang Awan sangat kagum dengan perilakunya.
-         Dirinya banyak membela rakyat kecil yang teraniaya oleh hulu balang Raja Badau.
-         Pada suatu kejadian, hulubalang Raja Badau memungut pajak terhadap rakyat terlalu tinggi, Cikampak dan kawan-kawannya berusaha untuk membela rakyat,
-         Hulubalang raja zalim Badau selalu ingin mendapatkan pajak yang tinggi untuk bersenang-senang di lingkungan istana.
-         Berkat bersatunya kalangan pemuda di kerajaan Pinang Awan, yang dipelopori oleh Cikampak, akhirnya hulubalang raja Badau dapat dikalahkan.

           

 

0 komentar :

Posting Komentar