HIKAYAT CIKAMPAK DARI KERAJAAN TORGAMBA
-
Dahulu kala di daerah Labuha Batu
Selatan, sebelum berdirinya kerajaan Pinang Awan Torgamba, telah ada kerajaan
besar yang disebut kerajaan Torgamba.
-
Menurut usia berdirinya kerajaan Pinag
Awan Torgamba telah tergolong tua, dan rajanya bernama Cagar Alam, Ia
memerintah dengan penuh kebijaksanaan.
-
Seluruh rakyat di kerajaan Pinang Awan
patuh kepada raja dan kerajaan semakin harum namanya.
-
Dalam kehidupan sering terjadi berbagai
perubahan, suka dan duka silih berganti.
-
Terjadilah suatu kejadian yang menimpa
salah seorang rakyat. Disuatu senja yang suram, kiranya paduka raja yang mulia
Raja Cagar Alam menderita penyakit, mendengar berita yang demikian, seluruh
rakyat merasa gusar.
-
Bahkan dikabarkan telah berpulang kerahmatullah.
Tersiar pula berita bahwa Panglima Badau akan menobatkan diri menjadi raja,
padahal perangainya selama ini
-
Dalam suasana kedukaan, Panglima Badau
menobatkan diri sebagai raja. Seluruh rakat di kerajaan Pinang Awan merasa
kecewa sebab perbuatannya sangatlah merugikan rakyat, rakyat diperlakukan
sewenang- wenang dan harta mereka dirampas dengan paksa.
-
Siapa yang melawan, dipenjarakan dan
yang melakukan keonaran dan khianat diberi hadiah.
-
Keadaan ini sungguh memprihatinkan,
rakyat banyak mengalami kesulitan dan kemiskinan yang sangat memilukan.
-
Tatkala angin berhembus menyantuh
dedaunan, terdengar deburan ombak air laut yang menderu syahdu.
-
Saat itu keluarga Syaperi sedang
duduk-duduk di beranda pondoknya.
-
Disebelah pondok asap mengepul, saat yang
demikian terliha dua ekor elang sedang terbang melingkar diudara.
-
“Ada anak burung jatuh!” seru si
Cikampak, putra pasangan Syaperi dan Utami.
-
“cit....cicit..cicit”, suara anak
burung. Kemudian ia memperhatikan ke atas pohon.
-
“Oh, ternyata ada sarangnya diatas”,
bisik Cikampak.
Cikampak lalu memanjat ke pohon,
dan ternyata masih ada seekor lagi anaknya yang masih lemah. Anak burung yang
jatuh dikembalikan ke sarangnya.
-
Tatkala mengetahui Cikampak mengembalikan si
anak burung ke sarangnya, Uami memuji perangai putranya.
-
“Oh...anak ku, mendekatlah kepada
ayahmu, ia akan berkata tentang anak burung itu” demikian suara ibu Utami.
-
Cikampak lalu mendekat kepada ayahnya,
dan sang ayah pun bertutur lembut di hadapannya.
-
“Cikanpak, anakku! Ayah merasa bangga dan
berbahagia atas perangaimu. Tingkah laku yang demikian engkau pertahankan
hingga usia dewasamu, pasti kelak engkau akan menjadi manusia yang berguna.
-
“Kanda ! pekerjaan kita di ladang telah
selesai. Ada sesuatu yang penting untuk ku sampaikan” demikian suarah lirih
yang keluar dari mulut Utami.
-
“Apa dinda, yang akan engkau sampaikan
padaku?”
-
“Ada sesuatu yang dinda anggap rahasia
dan membicarakannya perlu hati-hati.
-
“Apa yang engkau takutkan, dinda! Bila
kita berada di pihak yang benar” ucap sang suami.
-
“Begini, kanda! Bukankah penguasa kita
raja Badau sering pasang mata-mata.
-
Menurut orang-orang di kampung kita,
siapa yang memiliki kekayaan, akan dirampas dan dibawa ke istana.
-
Bila hal ini benar, bagai mana kalau
harta kita dirampas dan kita di penjarakan”. Ucap Utami.
-
“Pikir-pikir dahulu, seandainya ini
terjadi, barulah kita mencari jalan keluarnya” kata sang suami.
-
“Karena itu, alangkah baiknya kita
meninggalkan kampung ini dan pulang kekampung asal kanda. Bukankah selama ini
kanda belum pernah menceritakan asal usul kampung kanda!” ucap Utami.
-
“Oh...itu yang dinda pinta dengarkanlah baik-baik, aku
dilahirkan di kampung Barus. Negerinya bernama Mayang, negeri kanda
menghasilkan banyak kapur yang dikenal sebagai kapur barus” ucap Syaperi
-
Berkat penjelasan ayah nya Cikampak
merasa tertegun mendengarnya.
-
Tatkala hari beranjak senja orang-orang
kampung sudah berada di rumah, tiba-tiba di kejutkan suara hardikan yang
datangnya dari belakang pondok.
-
“ Ei....serahkan emas atau uangmu. Ayo
cepat serahkan sekarang juga” hardik sekelompok hulu balang kerajaan Pinang
Awan dengan suara bengis dan menakutkan.
-
Syaperi dan Utami terkejut, apalagi
Cikampak yang masih remaja, tentu saja darahnya mendidih.
-
“Ayo cepat serahkan emas dan uang yang
banyak itu!” gertaknya sambil menghentakkan kakinya ke tanah.
-
“Aku tidak memiliki uang dan emas yang
kalian tanyakan dan aku tidak mencari misuh. Namun, tidaklah menolak bila
kalian ingin bertanding” ucap Syaperi. “Engkau melawan!”, bentak salah seorang
pengawal.
-
Karena ucapan Syaperi yang tegas dan
akan melawan, gerombolan semakin maju dan akan menendang Utami sekali lagi.
Dengan gerakan kilat Syaperi mengayunkan parangnya dengan membabi buta. Ia
mengamuk karena hak-hak dirampas dengan paksa.
-
Keadaan semakin genting, kawanan kelompok
penjahat yang dikomado raja Badau menyarbu kepondok Syaperi. Syaperi serta
istri dan anaknya si Cikampak tidak berdaya.
-
Tangan Syaperi dan Utami istrinya diikat
dan dibawa secara paksa ke istana kerajaan Pinang Awan dan dipenjarakan.
-
Beberapa saat kemudian, suasana di
pondok Syaperi terlihat sunyi, yang tinggal hanya Cikampak seorang diri.
-
Perbuatan Panglima Badau merupakan
pukulan berat bagi dirinya, ia berdoa dan memohon pertolongan Tuhan.
-
Atas permohonannya, tiba-tiba datanglah
seorang gadis yang lembut budi pekertinya menghampirinya.
-
Kemudian luka tubuhnya diobati. Ternyata
gadis tersebut adalah kekasih Cikampak sendiri, yang bernama Nuri.
-
Cikampak memceritakan apa yang telah
terjadi dengan air mata yang menetes.
-
Ia berjanji akan berguru dan tidak akan
pulang sebelum bertemu guru sakti.
-
Sebelum berangkat, ia terlebih dahulu
singgah ke rumah orang tua Nuri.
-
Orang tua nuri mendoakan semoga dirinya
selamat dalam perjalanan.
-
Cikampak mulai berjalan meninggalkan
kampung halamannya, langkah cikampak semakin samar-samar.
-
Keadaan semakin gelap, malam pun tiba,
Cikampak mencari tempat untuk bermalam. Akhirnya dijumpailah pohon besar yang
justru daunnya rindang.
-
Keesokan harinya, ia meneruskan
perjalanan.
-
Cikampak kehilangan arah, dan terlihat
olehnya sebuah gunung yang tidak begitu tinggi.
-
Setelah melewati lembah sunyi, dan
sungai kecil di tengah hutan, akhirnya Cikampak sampailah di atas gunung.
“oh....indahnya alam ini!” demikian ucap Cikampak.
-
“Ei...., ada gua. Mungkin disitu diam
seorang guru yang ku cari-cari itu” ucap si Cikampak.
-
Setelah sampai dipintu gua, ia merasan terkejut,
sebab di sudut gua ada orang tua yang sedang duduk rapi dengan menghadap
kedupa-dupa.
Cikampak lalu datang menghadapnya.
“Guru.......
Aku datang
kemari ingin sekali belajar pada guru”. Kata Cikampak dengan hormatnya.
“Ei......, siapa engkau anak muda! Mengapa dirimu sampai disini?” tanya
orang tua tersebut.
-
“Guru! Namaku Cikampak, diriku datang
kemari ingin berguru kepada kakek”, demikian permintaan Cikampak.
-
“Oh......, itu niatmu anak muda!” jawab
kakek tua. “Kujelaskan
anak muda, bahwa yang kau cari itu tidak lain adalah diriku, jadi maksudmu
ingin berguru padaku, anak muda? Baiklah bila sudah bulat tekadmu untuk
menuntut ilmu di gua ini”, demikian sahut kakek tua.
-
Cikampak sangat tertarik dengan
ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sang guru.
-
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan,
mka ia menghadap sang guru.
-
“Guru, rasanya sudah cukup aku
mendapatkan ilmu, oleh karena itu, aku akan kembali ke negeriku dan ijinkanlah
aku pulang”, kata Cikampak memohon pamit pada gurunya,
-
“Wahai muridku! Bahwa di atas segalanya
masih ada yang perlu dituntut, ialah kebajikan ,
Camkan nasihatku! Tunjukkan budi pekerti yang
luhur dan keutamaan”, demikian kata guru.
-
Setelah Cikampak kembali berguru,
ternyata rakyat Pinang Awan sangat kagum dengan perilakunya.
-
Dirinya banyak membela rakyat kecil yang
teraniaya oleh hulu balang Raja Badau.
-
Pada suatu kejadian, hulubalang Raja
Badau memungut pajak terhadap rakyat terlalu tinggi, Cikampak dan
kawan-kawannya berusaha untuk membela rakyat,
-
Hulubalang raja zalim Badau selalu ingin
mendapatkan pajak yang tinggi untuk bersenang-senang di lingkungan istana.
-
Berkat bersatunya kalangan pemuda di
kerajaan Pinang Awan, yang dipelopori oleh Cikampak, akhirnya hulubalang raja
Badau dapat dikalahkan.
0 komentar :
Posting Komentar